Maaf lama nggak update. Ini adalah salah satu cerpenku. Hope you’ll like it.
ABIGAIL
Oleh Ayesha Sophie Sayyida
Abigail bisa merasakan tatapan mata-mata di belakangnya saat ia melewati koridor sekolah. 1 …2 …3, ia menghitung dalam hati. Apakah ia sanggup bertahan kali ini untuk tidak berhenti, lalu berbalik menatap mereka semua di belakangnya? Apakah ia sanggup bertahan untuk tidak menangis, lalu mengenang-ngenang lagi sekolah lamanya di Wamena, tempat segalanya begitu menyenangkan dengan hujan dan guruhnya. Sungai dan lumutnya. Dan akhirnya … teman-temannya. 4 …5 …6, ia terus menghitung. Kelasnya sudah dekat. Ia bisa masuk ke situ dan menyembunyikan diri seharian di balik punggung anak-anak di kelasnya. Dia tidak akan bicara atau bersuara. Bahkan, ia akan menahan diri untuk bersin. Bahkan ia akan ….
“Abigail!”
Abigail menoleh ke asal suara. Sheila. Ia memalingkan wajah. 7 …8 …9, ia sudah hampir mencapai ambang pintu kelasnya. Sheila memanggilnya? Abigail mengacuhkan. Bisa jadi ini siasat mereka, ia mengangkat bahu. Namun, Sheila memanggilnya lagi.
“Abigail! Sini, yuk!”
Dengat berat Abigail berhenti, lalu berbalik arah. Sheila tersenyum. Abigail mengerutkan kening. Lho, ada apa ini?
“Kamu itu dari Wamena kan?” Sheila mendekat.
Abigail mengangguk.
“Ayahmu pindah tugas ke sini ya?”
Seperti robot, Abigail mengangguk lagi. Ia rindu Wamena. Rindu pohon-pohonnya, kicau burungnya. Ia tidak menduga ayah akan dipindahtugaskan ke Padang ini. Padang-Wamena sangat jauh. Lebih 2000 kilometer, kata ibu.
“Wamena itu kayak mana sih? Cerita dong?”
Ragu, lagi-lagi Abigail mengangguk.
“Horeee! Nah, ceritakanlah!” sorak Sheila senang.
Teeeet! Bel berbunyi.
Abigail mendesah lega. Percakapan mereka akan terhenti di situ sampai jam istirahat. Nanti ia akan kabur ke kamar mandi, sampai jam pelajaran berikutnya.
***
Di dalam kelas, Sheila melambaikan tangan dari tempat duduknya. Abigail mengabaikannya. Ia pergi ke meja di pojok belakang kelas. Sheila tampak kecewa. Ketika Bu Mat memasuki kelas, Abigail lega ia tak perlu memandang tampang kecewa Sheila yang dari tadi terus memandanginya.
Saat jam pelajaran usai, Abigail melupakan rencana kaburnya. Kenapa, sih, ia harus kabur dari Sheila? Untung-untung masih ada yang mau berteman dengannya. Semoga saja Sheila memanggilnya lagi, dan ia akan bercerita tentang sekolahnya yang menyenangkan dengan kehadiran teman-temannya di Wamena. Ia keluar kelas, menyusuri koridor hingga sampai di depan ruang kelas satu. Sebuah brosur menempel di situ. ‘Lomba Layang-Layang Untuk Anak SD’. Abigail mengangkat bahu, tak peduli.
Kali ini, Sheila menghampirinya.
“Hei, kenapa sih kamu tadi tidak mau duduk denganku? Dingin, lho, di pojok kelas itu, terus kamu sendirian pula,” ujarnya.
Abigail tertawa. Kikuk. “Iya, maaf,” jawabnya singkat. Ia tidak nyaman. Ia teringat bagaimana hari pertama sekolahnya, ketika dia memasuki ruang kelas. Ia masih ingat cibiran mereka. Dia begitu berbeda dari mereka. Dari bentuk wajah sampai warna kulit. Teman-temannya berkulit coklat muda dan kuning langsat, dia hitam sendirian. Tapi kata ibu, kulitnya tidak berwarna hitam. Kulitnya berwarna smoky quartz. Smoky quartz adalah batu yang sangat indah, yang melambangkan ketabahan dan prinsip hidup yang kuat.
Abigail menarik napas. Ia teringat bagaimana di hari pertama sekolah di sini kakinya dijegal seorang anak sehingga terjatuh, lalu ditertawakan.
Sheila mengangguk. “Ceritakan bagaimana sekolah kamu dulu. Namanya, gurunya, teman-temanmu, pelajarannya, pokoknya semuanya!”
Abigail memandang Sheila sebentar, lalu menjawab.
“Aku bersekolah di SD YPPK Santo Yusuf. Kalau soal guru, aku punya seorang guru matematika yang lucu sekali,” Abigail teringat dengan gurunya. Itu membuat perasaannya jadi bahagia. “Gara-gara beliau aku jadi ketagihan matematika. Ada pula guru olahragaku yang ketika kami hendak bermain kasti, ia salah bawa bola!
Juga ada temanku, namanya Anne, dia gendut sekali, dia suka apa saja, selain tomat. Pernah kuisengi dia dulu, dengan memberikan tomat yang berlumur cokelat yang sudah membeku. Tahu nggak, dimakannya, setelah itu mukanya memerah, pipinya menggembung, setelah itu dia mengejarku keliling sekolah, hahaha!” tanpa sadar ia tertawa mengenang teman-temannya.
Sheila ikut tertawa. “Bagus juga, kalian berdua sama-sama sehat jadinya.”
Tiba-tiba seseorang lewat. Haris namanya.
“Ih, rambut sarang burung!” serunya.
Abigail menunduk. Keceriaannya yang muncul karena Sheila, tiba-tiba surut. Sheila memandang Haris dengan galak. “Awas kamu, Haris, ya! Asal kamu tahu ya, rambutnya itu cantik sekali!”
“Apa?” Haris tertawa, lalu berlari menjauh.
Sheila berbalik memandang Abigail. “Biarin aja. Toh, nanti dia juga yang kena.”
Digandengnya Abigail. Abigail berjalan risih di sebelahnya, tapi di saat yang sama, ada rasa senang di hatinya karena mendapat teman baru. Sheila membawanya berjalan ke arah penjual sate. “Makan sate yuk, aku traktir,” ajak Sheila.
“Mmm, aku coba deh,” angguk Abigail. Ketika makanan berkuah pedas itu diletakkan di hadapannya, Abigail tercengang pada warna kuah dan aromanya. Warnanya coklat kemerahan dan sangat harum. Ia mengambil setusuk daging. Ragu-ragu.
Sheila tertawa. “Makan aja, enak kok.”
Abigail memasukkan daging yang berlepotan kuah sate ke mulutnya. Digigitnya, dikunyahnya. Beberapa detik kemudian, ia menyambar air minum.
“Pedassss!” serunya.
Sheila tertawa.
“Tapi enak kan? Eh, kamu tahu nggak, ada lomba layangan? Aku pengen ikut, tapi nggak pandai bikin layangan.”
Abigail terdiam sejenak, lalu mengangguk mengiyakan pertanyaan pertama Sheila, kepedasan. Dia tahu masakan Padang itu pedas, tapi tidak menyangka akan sepedas ini.
Ish …ish…
***
Keesokan paginya, ketika ia memasuki kelas, seperti biasa, cemoohan terlontar dari setiap sisi kelas. Sheila, yang tampak manis dalam jilbab putihnya yang berpita merah tua, menghampirinya. Abigail merasa terkucil melihat mereka semua. Dipandanginya dirinya sendiri di cermin kelas. Sehelai rambut keriting lengket di pelipisnya. Satu lagi yang membuat Abigail merasa berbeda: teman-temannya berjilbab, ia tidak. Ia beragama Kristen, sementara, teman-teman satu sekolahnya beragama Islam. Dicobanya mengabaikan perasaan itu, tapi begitu melihat meja-meja digeser ke samping untuk membentangkan sajadah saat solat Duha, perasaan itu muncul lagi.
Sheila sepertinya baru bicara sesuatu, tapi Abigail tak memperhatikan. Pikirannya dipenuhi seribu mengapa. Mengapa aku dibilang aneh? Mengapa aku dibilang jelek? Mengapa aku tidak disukai? Mengapa, mengapa….
“Hei!” kata Sheila membuyarkan lamunannya. “Aku tanya, kamu mau duduk dimana? Biar satu kursi diletakkan untukmu.”
Abigail menghela napas. “Aku duduk di lantai saja, terimakasih.”
“Yakin? Nggak dingin?”
Abigail menggeleng. Ia duduk di luar kelas sambil menunggu teman-temannya selesai salat Duha.
Abigail merasa makin berbeda.
***
“Abigail, kamu bisa bikin layangan nggak?”
Abigail tersentak. Dipandangnya Sheila. Ia terdiam cukup lama sampai menjawab “Ya.”
Sheila tertawa. “Kok lama sekali jawabnya? Eh, betulan nih, kamu bisa?”
Abigail mengangguk.
“Ikut lomba layangan yuk! Dekat kok, dari rumahmu, di lapangan itu lho,” ajak Sheila.
Ragu-ragu, Abigail mengangguk.
“Ya sudah, nanti sepulang sekolah kita cari buluh, oke?”
Abigail mengiyakan.
***
Ketika hari perlombaan, Abigail membawa layangannya, begitu juga dengan Sheila. Tentu saja, disitu juga ada Kevin, jagoan layang-layang kelas mereka, serta beberapa anak yang satu sekolah dengan Abigail.
Kevin mencibir ketika Abigail dan Sheila lewat. Abigail tak mempedulikannya.
Mulai!
Seketika itu juga angkasa seakan berubah menjadi lautan layang-layang. Para anak-anak sibuk mengulur dan menarik benang layangan mereka.
Satu persatu, peserta-pesertanya mulai gugur. Ada yang tak sadar benangnya sudah habis, ada yang terlalu pendek benangnya, ada yang benangnya putus, dan Kevin termasuk ketegori pertama. Dengan kecewa ditatapnya layangannya yang terbang pergi. Layang-layang Abigail dan Sheila sebaliknya. Layang-layang itu masih terbang dengan tenang di angkasa. Abigail terus mengulur benang dengan tenang. Layang-layangnya makin tinggi hingga hampir mencapai awan. Akhirnya lomba selesai. Dan diantara seluruh wajah-wajah sedih dan kecewa, terlihatlah wajah Kevin yang tampak malu, marah dan bingung bercampur aduk. Karena… Abigail menang! Ya, Abigail dan Sheila juara satu!
***
Esoknya di sekolah….
Ketika Abigail memasuki ruang kelas, seluruh anak di situ menatapnya, dan mulai berbisik-bisik. Abigail berusaha tidak peduli. Tapi, di luar perkiraannya bisikan itu bukan untuk mengejek, tetapi kagum. Iya, Abigail yang selama ini mereka ejek, ternyata juara satu di sebuah lomba layang-layang. Sesuatu yang tidak mereka kira. Pandangan mereka mengikuti Abigail sampai Pak Rinto masuk.
Saat istirahat, Abigail dikerubungi Sheila dan teman-teman ganknya. Lalu, satu demi satu murid-murid sekelasnya ikut bergabung. Mereka mendengarkan kisah Abigail dengan takjub.
“Di Wamena, kakekku adalah seorang pembuat layang-layang yang sangat hebat, serta juara di kampungku. Dari dialah aku belajar,” ujar Abigail menjawab sebuah pertanyaan.
Hari itu, anak-anak di kelas Abigail menyambutnya dengan ramah. Bagi mereka, sungguh hebat sekali ada anak perempuan yang memenangkan perlombaan layang-layang. Selama ini, yang juara selalu anak lelaki. Mereka semua senang berteman dengannya, bahkan minta diajarkan cara membuat dan memainkan layang-layang. Abigail sangat bahagia.
**
Ini hari baru. Abigail melangkah menuju kelasnya. Ia menghitung dalam hati. 1 …2…3. Sebentar lagi ia akan mencapai pintu kelas. 4 …5 …
“Abigail!” teriak teman-teman sekelasnya dari ambang pintu. Mereka berlari ke arahnya dengan gembira. Abigail tertawa. Ia merasa dirinya diterima di sekolah itu.
Padang, 27 Agustus 2017